Jumat, 27 Juli 2012

suara BEDUG YANG TERDENGAR di masjid AT-TAQWA SIWI

HAQQUEL   

Pukulan bedug erat hubungannya dengan suasana pada bulan Ramadhan. Suara bedug menjadi begitu merdu dalam setiap sahur. Tanpa adanya suara alat ini, mungkin akan banyak umat muslim yang kelupaan untuk bangun sahur. Walaupun tidak sedikit pula yang menggunakan alarm dari jam atau handphone. Begitu pula yang dirasakan oleh warga daerah Delima, Tanjung Duren selama hampir 1 bulan ini. 

"Awalnya sih saya terganggu dengan bunyi bedug dan anak-anak yang berteriak-teriak tengah malam untuk membangunkan sahur. Tapi setelah beberapa hari hingga sekarang, saya malahan harus tidur setelah mendengarkan bunyi bedug itu", ucap Cindy, salah satu anak muda non muslim di daerah Delima.

Tetapi akan menjadi suatu kenangan yang tak terlupakan bagi mereka anak-anak muda yang berkeliling tengah malam untuk memukul bedug. Hal yang setahun sekali mereka lakukan bersama teman-teman sebaya. Walaupun mungkin keesokan harinya masih banyak aktifitas yang menunggu. Malahan, kadang hal seperti ini menjadi semangat untuk menjalani bulan Ramadhan dengan keceriaan. 

Di saat saya mewawancarai salah satu anak yang biasa memukul bedug, Anto. Ia dengan senang dan bangga menjawab, "Seru ! Begadang bareng temen-temen. Maen bola dulu di lapangan, baru jem 2 keliling teriak-teriak dan mukul bedug". Mungkin bagi kita yang non muslim, itu adalah hal yang melelahkan dan buang-buang tenaga. Tapi bagi mereka, ikut membangunkan warga lainnya mempunyai pahala tersendiri di bulan yang suci ini.

Selain dalam masa puasa seperti ini, bedug juga sangat indah didengar di saat malam takbiran. Gema takbir dengan menggunakan bedug yang dihias, menjadi tanda bahwa kemenangan di depan mata. Hidup baru yang dimulai dengan semua yang suci akan segera dimulai kembali dari nol. Pintu maaf pun akan terbuka dengan lebar bagi siapa pun yang tulus meminta maaf. 

Kita yang non muslim pun tidak ada salahnya ikut meminta maaf kepada mereka yang merayakannya. Silahturahmi pun harus tetap terjaga walaupun perbedaan agama. Rasa lega yang umat muslim rasakan terbayar sudah setelah satu bulan menjalankan puasa. Sudah selayaknya, hidup baru dimulai dengan kemenangan yang indah.


Selamat Idul Fitri bagi yang merayakan !

     

1 PLURALISME HUKUM WARIS : STUDI KASUS HAK WANITA DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

DESA SIWI  HAQQUEL AMUEKS   1. Pengantar   Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak disebelah Timur Bali. Berlainan dengan suku Bali yang beragama Hindu, suku Sasak beragama Islam, jumlahnya sekarang sekitar 2.878.917 jiwa1  Islam mulai datang ke pulau Lombok pada abad ke 16, sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit. Agama Islam ini dibawa pengikut para wali dari pulau Jawa dengan bahasa pengantar Jawa Kuno. Sekarang Lombok terkenal dengan nama “pulau seribu mesjid”, karena banyak mesjid, tempat suci untuk bersembayang bagi pemeluk agama Islam. Jumlah mesjid sekarang ini diseluruh pulau Lombok sebanyak 3975 bangunan.2  Namun dalam hal mewaris bagi wanita, masyarakat Sasak tunduk pada tiga sistem hukum : Hukum Adat, Hukum Islam yang bersumber kepada Quran dan Hadist, serta hukum negara yang bersumber pada putusan hakim Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.   Berdasarkan Hukum Adat, wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris harta orang tuanya. Ini adalah konsekwensi dari masyarakat Patriachat, yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan menurut garis kebapaan atau pihak laki-laki. Namun banyak wanita Sasak yang tunduk pada hukum Islam dimana hukum Islam membagi warisan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita. Semua putusan Pengadilan Agama Islam mengikuti Al Quran dalam pembagian warisan. Dalam pada itu sejak Mahkamah Agung Indonesia menyatakan dalam putusannya pada tahun 1978 dan diulangi dalam putusan tahun 1985, bahwa hak wanita dan pria dalam alam Indonesia merdeka adalah sama, maka wanita Sasak mempunyai hak yang sama dalam mewaris harta orang tuanya. Mahkamah Agung berpendapat pula telah terjadi perubahan sosial mengenai hak wanita pada masyarakat Sasak, yaitu wanita dulunya menurut Hukum Adat Sasak tidak berhak mewaris, sekarang masyarakat adat Sasak  sendiri  yang mengakui hak wanita untuk mewaris harta orang tuanya.  Namun Mahkamah Agung tidak menyebutkan apakah kemajuan hak wanita tersebut karena perjuangan kaum                                                    1 Data BPS dan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2007.   2 Ibid. 2  wanita sendiri? Pengakuan masyarakat terhadap hak wanita Sasak dalam zaman yang sudah modern ini terjadi dengan sendirinya dan pengadilan menjadikan putusannya sebagai a tool of social engineering.  Paragrap-paragrap berikut ini akan menerangkan perkembangan terjadinya pluralisme hukum tersebut sebagai hasil wawancara dengan berbagai anggota masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, penelitian putusan Pengadilan Agama, dan Pengadilan Negeri sampai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.                             3  2. Hukum Adat Sasak Tradisional Bercirikan Patrilineal Menurut Hukum Adat Sasak Tradisional, Suku Sasak menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (patriachat). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi gelar Baiq dan kaum laki-lakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan bawah baik perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum perempuannya dipanggil Inaq dan laki-laki dipanggil Amaq. Masyarakat Sasak di Desa Sade, misalnya, tidak mempunyai lapisan bangsawan. Seluruh penduduknya adalah bagian bawah dari masyarakat Sasak. Menurut masyarakat desa Sade, suatu desa yang masih tradisional, walaupun seluruh mereka beragama Islam, mereka tetap tunduk pada Hukum Adat Sasak Tradisional.3 Menurut Hukum Adat di desa ini wanita tidak menerima warisan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Pada dasarnya masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi keluarga suaminya, karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin.  Jika wanita Sasak di desa Sade menikah, ia tinggal pada keluarga suaminya. Untuk itu ia boleh membawa barang-barang perhiasan dari emas atau perak berbentuk cincin dijarinya, giwang atau anting-anting, kalung di lehernya dan gelang yang dipakai pada tangannya. Ia tidak akan mendapatkan tanah atau rumah. Tanah dan rumah hanya untuk anak laki-laki.4  Penduduk Desa Sade sudah ada selama lima belas generasi terdiri dari 150 kepala keluarga atau 750 jiwa. Dalam percakapan saya dengan seorang warga desa ini,  perkawinan antar keluarga, misalnya, antar saudara misan atau saudara sepupu menjadi kebiasaan untuk mempertahankan garis keturunan. Pekerjaan di desa ini adalah bertani yang hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Disamping itu para wanita melakukan pekerjaan menenun, misalnya membuat sarung, selendang dan penutup leher untuk dijual, dengan alat tenun yang amat sederhana. Wanita-wanitanya mebuat benang dari kapas yang ditanam di sawah mereka bersama-sama dengan tanaman padi. Sebagian besar dari mereka telah membeli benang berbagai warna di pasar. Pihak laki-laki mengerjakan sawah mereka. Hasil padi tidak untuk dijual tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wanita di desa Sade, harus kawin dengan lelaki di desa tersebut. Bila ia kawin dengan laki-laki luar desa, wanita itu harus keluar dari desa tersebut.                                                  3 Interview 17 Oktober 2007. 4 Interview 17 Oktober 2007. 4  Wanita menenun sarung di Dusun Sade Begitu juga pihak pria yang kawin dengan wanita luar desa, ia harus meninggalkan desa Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa ke pengadilan sampai saat ini dari desa tersebut. 5               Membuat Kapas menjadi benang di Dusun Sade                                                                5 Interview 2 Oktober 2008 5  3. Hukum Islam Mengenai Waris Hampir seluruh suku Sasak beragama Islam, walau ada di antara mereka, kelompok kecil dibeberapa tempat seperti, Bayan, Kopang, Narmada dan Lingsar menganut Islam Waktu Telu. Penganut Islam Waktu Telu ini bersembahyang tiga atau dalam bahasa Sasak Telu kali sehari, daripada lima waktu Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya seperti agama Islam pada umumnya. Sembahyang tersebut hanya wajib untuk pemimpin agama mereka saja dan tidak untuk orang biasa. Namun Pemerintah berusaha agar penganut Islam Waktu Telu ini mengikuti ajaran Islam yang umum, yaitu shalat 5 waktu, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.6    Sebagian besar masyarakat Sasak mengikuti Hukum Islam yang bersumber dari Quran dan Hadist (perkataan Nabi Muhammad). Hukum Waris Islam bersumber dari Quran dengan mengutip Surat An-Nisa ayat 11, yang artinya :   “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.    Dalam bahasa Sasak dikatakan bagian wanita itu “sepersonan” yaitu bagian barang yang dijunjung di atas kepala perempuan. Bagian laki-laki adalah “sepelembah” atau dua pikulan yang diletakan di atas bahu. Maka dikatakan dalam bahasa daerah Sasak bagian laki-laki dan bagian wanita adalah “sepelembah sepersoanan” yaitu 2 berbanding 1. Wanita menjunjung 1 bakul di kepalanya, sedangkan laki-laki yang membawa pikulan di bahunya selalu terdiri dari 2 bakul atau keranjang. Dalam wawancara saya dengan seorang ibu di desa Banyu Muleh, Kecamatan Kediri, Lombok Barat anak laki-laki mendapat warisan 2 bagian dan perempuan 1 bagian mengikuti “sepelembah sepersonan”. Kalau tidak ada anak laki-laki maka semua warisan tersebut jatuh kepada anak perempuan. Jika anak perempuan lebih dari satu orang, harta warisan dibagi sama diantara mereka. Warisan itu tidak dibagikan kepada saudara laki-laki dari almarhum bapaknya. Bila anak perempuan itu hanya satu-satunya semua harta warisan jatuh kepada anak perempuan satu-satunya itu. Desa Banyu Muleh terkenal dengan pembuatan gerabah yang tidak saja dipasarkan di Lombok tetapi juga ke daerah Bali dan diekspor ke berbagai negara. Kaum wanita dipanggil “Inaq” atau                                                  6 Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya, Proyek Penelitian Dan Pencatatan, 1977-1978, h. 75  6  juga “Umi” bila sudah menjadi hajjah, yaitu pergi naik haji ke Mekkah. Untuk bapak di panggil “Amaq”. 7               Mesjid berdekatan di Banyu Muleh  Dipantai Cemara suatu kampung nelayan di Kecamatan Lembar, Lombok Barat, penduduknya juga mengikuti Hukum Islam dalam hal mewaris. Kalau tidak ada anak laki-laki, semua harta warisan adalah untuk anak perempuan. Harta warisan tidak pernah jatuh kepada saudara laki-laki ayahnya. Di desa ini sengketa waris jarang terjadi. Kalaupun ada sengketa, sengketa tersebut diselesaikan oleh Kepala Dusun. Sengketa yang dibawa ke Pengadilan Agama hanya soal perceraian.8  Di desa Sembalun (Lombok Tengah), daerah pegunungan Rinjani seluruh suku Sasak didaerah ini beragama Islam dan pembagian warisan mengikuti Hukum Islam, yang dalam bahasa daerah disebut “sepelembah sepersonan” atau dua untuk laki-laki dan satu bagian untuk wanita.9   Dalam wawancara saya dengan seorang wanita di desa Kediri yang terletak hanya 5 kilometer dari Ibu Kota Provinsi, Mataram (Lombok Barat); wanita tersebut mengatakan bahwa ia baru saja menerima seluruh harta warisan dari almarhum orang                                                  7 Interview 17 Oktober 2007  8 Interview 5 Oktober 2008 9 Interview 10 Oktober 2008 7  tuanya karena ia satu-satunya anak perempuan. Warisan tersebut berupa 2 ha sawah dan rumah. Masalah warisan tersebut diselesaikan setelah mendapat petunjuk dari Tuan Guru, pemimpin Agama Islam di desa tersebut.  Menurut seorang penjual kopiah yang menjadi ciri khas produksi desa Kediri, mayoritas penduduk Kediri beragama Islam dimana pembagian harta warisan adalah “sepelembah sepersonan” dalam bahasa daerah, yaitu dua untuk laki-laki berbanding satu untuk perempuan.10                  Sepelembah (memikul dua bakul)  Sengketa warisan dikalangan suku Sasak tidak jarang pula dibawa ke Pengadilan Agama. Menurut data pada tahun 2008 Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) memutuskan 6 sengketa, Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) memutuskan 29 sengketa, dan Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) 58 sengketa. Sampai bulan Mei 2009 Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) memeriksa 2 perkara, Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) 7 perkara, dan Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) 38 perkara.11 Data tersebut menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) yang paling banyak memeriksa perkara sengketa warisan.                                                  10 Interview 26 Januari 2009.  11 Pengadilan Tinggi Agama di Mataram, Juni 2009  8  Sementara pendapat mengatakan bahwa keadaan itu mungkin disebabkan karena Selong merupakan tempat para pendidik Agama Islam, sehingga kaum wanita didaerah itu menuntut haknya mewaris, yang menurut Hukum Adat Sasak Tradisional mereka tidak mempunyai hak. Adapula yang mengatakan sengketa perkara warisan itu melalui Pengadilan Agama Selong berjumlah besar, karena adanya para pengacara yang berjalan ke desa-desa dan menginformasikan hak-hak pria dan wanita mewaris menurut Hukum Islam.12                           Sepersonan (menjunjung satu bakul)  Berikut ini beberapa contoh perkara warisan yang diputus oleh Pengadilan Agama dan selesai sampai pada pengadilan tersebut saja. Tidak ada pihak yang naik banding ke Pengadilan Tinggi Agama dan tidak naik kasasi ke Mahkamah Agung Indonesia.                                                   12 Interview di Mataram 17 Juli 2009.  9  Pada tahun 2005 Pengadilan Agama Praya memeriksa perkara Sumenah v. Inaq Sini et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Sumenah, karena dalam perkawinannya dengan almarhum Insun alias Haji Mahsun telah memiliki harta kekayaan berupa tanah sawah, tanah kebun, rumah, sepeda motor, dan 8 ekor sapi. Mereka tidak dikaruniai anak. Almarhum Haji Mahsun meninggalkan 4 saudara kandung yaitu para tergugat. Pada waktu berunding untuk pembagian warisan dimana hadir beberapa tokoh masyaralat (Tuan Guru) perundingan tersebut gagal. Para tergugat tetap mempertahankan apa yang telah dikuasainya.  Pengadilan Agama Praya akhirnya memutuskan masing-masing ahli waris dan bagiannya adalah Sumenah (istri) mendapat 3/13 bagian, Inaq Sini (saudari perempuan), Inaq Napi (saudari perempuan), dan Hj. Alminah (saudari perempuan) secara bersama- sama mendapat 8/13 bagian, dan Kemat (saudara seibu) mendapat 2/13 bagian.13  Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) pada tahun 2007 telah memeriksa perkara Amirah v. Ande et.al. Duduk perkaranya bermula dari meninggalnya Mia pada tahun 1966 dan Istrinya Sadiah pada tahun 2005. Mereka meninggalkan anak 3 orang, masing-masing Ilah anak perempuan (tergugat V), Amirah anak perempuan (pengugat), dan Sahan yang telah meniggal dunia pada tahun 1991. Sahan meninggalkan istrinya Ande tergugat I dan tiga orang anak masing-masing Azhar anak laki-laki tergugat II, Ramdan anak laki-laki tergugat III, dan Marini anak perempuan tergugat IV. Mia dan Sadiah almarhum meninggalkan tanah warisan berupa tanah pekarangan, tanah sawah, dan tanah kebun.  Pengadilan Agama Praya dalam putusannya mengutip Al Quran surat An-Nisa ayat 11, yang artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka) anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”, dan Pasal 176 serta 185 Kompilasi Hukum Islam. Pengadilan Agama Praya selanjutnya memutuskan bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut14 : 1. Ilah (anak perempuan) ¼ bagian 2. Amirah (anak perempuan) ¼ bagian 3. Sahan (anak laki-laki) 2/4 bagian, masing-masing dari harta warisan, dan khusu bagian Sahan oleh karena telah meninggal dunia maka digantikan oleh ahli warisnya, yaitu : a. Ande (isteri) 1/16 bagian                                                   13 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 30/Pdt.G/2005/PA.PRA, tanggal 22 Agustus 2005. 14 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 262/Pdt.G/2006/PA.PRA., tanggal 4 April 2007. 10  b. Azhar (anak laki-laki) 6/16 bagian c. Ramdan (anak laki-laki) 6/16 bagian d. Marini (anak perempuan) 3/16 bagian    Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) juga telah memberikan putusan dalam perkara Inaq Suni et.al. v. Hj. Salmah et.al. Sengketa timbul setelah Syamsudin meninggal dunia isterinya Salmah (tergugat) mempunyai 3 orang saudara kandung masing-masing Inaq Kamariah perempuan (tergugat 2), Inaq Kamran perempuan (penggugat 2), dan Inaq Suni perempuan (penggugat 1). Almarhum Syamsudin dan isterinya tidak mempunyai anak, tetapi meninggalkan tanah sawah seluas 1,452 ha yang dikuasai oleh Hj. Salmah (tergugat 1) seluas 1 ha dan Inaq Kamariah (tergugat 2) seluas 0.452 ha. Penggugat sudah sering meminta kepada tergugat bagiannya secara kekeluargaan, namun tergugat tidak mau memberikannya tanpa alasan yang jelas. Pengadilan Agama Praya dalam putusannya menetapkan ahli waris yaitu : 1. Hj. Rakmah (isteri) mendapat 1/4 bagian atau 3/12 bagian. 2. Inaq Kamariah (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian. 3. Inaq Kamran (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian. 4. Inaq Suni (saudara perempuan) mendapat 3/12 bagian. Pengadilan Agama Praya berpendapat pula bahwa tanah sawah seluas 14.520 M2  terletak di Setumbak, Desa Jelatik Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah adalah harta yang berasal dari almarhum H. Syamsudin.15       Penyelesaian melalui Pengadilan Agama tidak jarang juga sampai pada tingkat banding ke Pangadilan Tinggi Agama, bahkan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Indonesia. Kasus-kasus berikut in menunjukkan hal tersebut. Pada tahun 1992 Pengadilan Agama Mataram memeriksa sengketa antara Inaq Putrahimah et.al. v. Amaq Mukminah et.al., dimana Mahkamah Agung Indonesia pada tingkat kasasi berpendapat selama masih ada anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum orang tuanya maka saudara-saudaranya yang lain tidak mempunyai hak untuk mewaris.  Perkara ini bermula dari gugatan Nursaid et.al  cucu dari  Amaq Itriawan  yang telah meninggal dunia pada tahun 1930. Tergugat adalah Le Putrahimah anak perempuan dari Amaq Nawiyah yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta                                                  15 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 306/Pdt.G/2007/PA.PRA, 17 Maret 2008. 11  warisan berupa 2 bidang tanah kebun seluas 6 ha. Orang tua Nursaid sendiri meninggal pada tahun 1950. Pada waktu Amaq Nawiyah meninggal dunia Le Putrahimah masih kecil sehingga tanah kebun seluas 6 ha tersebut dikuasai oleh Amaq Itriawan. Setelah Amaq Itriawan meninggal dunia tanah itu dikuasai oleh Nursaid beserta saudara- saudaranya.  Pengadilan Agama Mataram berpendapat antara lain, bahwa batas-batas tanah yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dibuktikan oleh penggugat, sedangkan tergugat telah menunjukkan pipil garuda sebagai tanda bukti hak milik tergugat. Oleh karena itu Pengadilan Agama Mataram menolak gugatan pengugat.16  Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memutuskan, bahwa ternyata tanah-tanah kebun sengketa milik Amaq Nawiyah telah dibalikkan namakan oleh anak perempuannya Le Putrahimah dengan telah memperoleh pipil garuda atas namanya sendiri. Ternyata tanah sengketa itu belum dibagi waris antara Le Putrahimah dan saudara laki-laki bapaknya atau pamannya Amaq Itriawan. Amaq Itriawan telah meninggal dunia tahun 1930 sehingga bagiannya jatuh kepada anak-anaknya. Anak- anaknya telah meninggal dunia pula sehingga harta warisan itu jatuh kepada cucu- cucunya Nursaid et.al. Pengadilan Tinggi Agama kemudian menetapkan tanah kebun pipil No. 2534/7002, Persil No. 375 luas 3.260 ha dan tanah kebun pipil No. 2532/7002, Persil No. 375 luas 3.440 ha terletak di Dusun Malimbu Desa Pemenang Barat, Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat adalah harta peninggalan Amaq Nawiyah yang belum dibagi waris. Dengan demikian Inaq Putrahimah anak perempuan Amaq Nawiyah (tergugat) mendapat setengah bagian dari kedua tanah kebun di atas. Almarhum Amaq Itriawan mendapat setengah bagian juga dari kedua kebun tersebut tetapi karena telah meninggalkan ahli waris seorang istri, 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 4 (empat) orang anak perempuan, maka masing-masing mendapat seperdelapan.17  Pada tinggkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia berpendapat selama masih ada anak laki-laki dan anak perempuan maka hak waris dari orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris menjadi tertutup. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan Inaq Putrahimah tergugat menjadi ahli waris satu-satunya.18  Pada tahun 1997 Pengadilan Agama di Praya (Lombok Tengah) memeriksa perkara Amaq Rede v. Serem et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Amaq Rede anak                                                  16 Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 85/Pdt.G/92/PA.Mtr., tanggal 5 Nopember 1992. 17 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr., tanggal 15 September 1993. 18 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 86 K/AG/1994, tanggal 27 Juli 1995. 12  dari Amaq Rabik yang telah meninggal dunia tahun 1947. Amaq Rabik mempunyai anak laki-laki Amaq Rede dan saudaranya Amaq Gande. Amaq Gande telah meninggal dunia dan meninggalkan sepuluh orang anak yang sekarang menjadi para tergugat. Pada tahun 1996 para tergugat langsung mengambil alih tanah sawah dan tanah kebun yang semuanya berjumlah 1.0768 ha yang sedang dikerjakan oleh Ibu penggugat Inaq Rabik bersama dengan penggugat.  Majelis Hakim telah memberikan nasehat kepada kedua belah pihak untuk berdamai, tetapi tidak berhasil. Majelis Hakim telah melaksanakan pemeriksaan setempat pada tanggal 19 April 1997 dan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Majelis Hakim Pengadilan Agama Praya berkeyakinan bahwa tanah-tanah kebun tersebut adalah milik Amaq Rabik dan bukan peninggalan Amaq Gande. Karena Amaq Rabik telah meninggal dunia maka bagiannya jatuh kepada Rabik dan Amaq Rede. Setelah Rabik meninggal dunia bagian Rabik jatuh kepada anak-anaknya, Hamsiah (perempuan) dan Nuriah (laki-laki). Bahwa tanah sawah dan kebun milik Amaq Rabik yang belum dibagi waris wajib dibagi kepada ahli waris sesuai Hukum Faraid Islam, yaitu19 :  Tanah Sawah :  a. Rabik mendapat ½ X + 1.000 ha = + 0,500 ha; b. Amaq Rede mendapat ½ X + 0.0768 ha = + 0.0384 ha. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Rabik sebagian :  Tanah Sawah :  a. Hamsiah = 1/3 X + 0.500 ha = + 0.1666 ha. b. Nuriah = 2/3 X + 0.500 ha = + 0.0512 ha. Tanah Kebun :  a. Hamsiah = 1/3 X + 0.768 ha = + 0.0258 ha. b. Nuriah = 2/3 X + 0.768 ha = + 0.0512 ha. Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram menyatakan bahwa yang menjadi sengketa adalah apakah tanah sawah seluas 1 ha hak milik ayah penggugat atau hak milik ayah tergugat. Maka berdasarkan Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 sengketa tersebut bukan termasuk wewenang Pengadilan Agama, tetapi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksanya. Oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama                                                  19 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 45/Pdt.G/1997/PA.PRA., tanggal 21 Mei 1997. 13  Mataram tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama Praya dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Praya.20  Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Agama Mataram telah salah menerapkan hukum, karena sengketa harta peninggalan tidak termasuk sengketa milik.21 Pada tahun 2006 Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa perkara Lalu Purwadi v. Baiq Nursam et.al. Lalu Purwadi (Penggugat) adalah anak kandung Mamiq Nursam, begitu juga para tergugat saudara perempuannya dari bapak dan ibu yang sama yang telah meninggal dunia. Kedua orang tuanya telah meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah pekarangan. Pengadilan Agama Selong memutuskan bagian masing-masing penggugat dan tergugat sebagai berikut :  1. Lalu Purwadi bin Mamiq Nursam memperoleh 2/5 bagian. 2. Hajjah Baiq Nursam bin Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian. 3. Hajjah Baiq Sahnun binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian. 4. Baiq Hadijah binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.          Pengadilan Agama Selong juga menetapkan Lalu Purwadi (penggugat) telah menjual 5 are tanah sawah dan 5 are tanah pekarangan, yang kesemuanya itu harus diperhitungkan menjadi bagiannya.22 Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah menguatkan putusan Pengadilan Agama Selong tersebut.23 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia memutuskan bahwa Pengadilan Agama Selong tidak salah menerapkan hukum sehingga Mahkamah Agung memperkuat putusan tersebut.24   Pada tahun 2006 juga Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) telah memeriksa perkara. Ishak et.al. v. Mahyin et.al. Duduk perkaranya adalah Ishak et.al. telah menggugat Mahyin et.al. karena yang terakhir ini telah menguasai satu bidang sawah dan tiga tanah kebun. Para penggugat telah berulang kali meminta bagian secara kekeluargaan dari tergugat dengan bantuan kepala desa dan camat, tetapi tidak berhasil. Pengadilan Agama Praya kemudian dalam putusannya tanggal 5 September 200525, telah mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menetapkan bahwa ahli waris dari                                                  20 Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 72/Pdt.G/1997/PTA.MTR., tanggal 13 Oktober 1997. 21 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 111 K/AG/1998, tanggal 13 September 1999. 22 Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 121/Pdt.G/2005/PA.SEL., 21 September 2005. 23 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 11/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 23 Februari 2006. 24 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 387 K/AG/2006, tanggal 5 Mei 2008. 25 Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 61/Pdt.G/2005/PA.Pra, tanggal 5 September 2005 14  Amaq Sediah adalah Amaq Nursidah (anak laki-laki), Amaq Mun (anak laki-laki), Amaq Muriah (anak laki-laki), Raminah (anak perempuan), dan Amaq Darsiah (anak laki-laki). Pengadilan Agama Praya juga menetapkan bagian masing-masing ahli waris sebagai berikut :  1. Amaq Nursidah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan. 2. Amaq Mun mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. 3. Amaq Ariah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. 4. Raminah mendapat 1/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anaknya. 5. Amaq Darsiah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.            Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram membatalkan putusan Pengadilan Agama Praya tersebut.26 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Agama karena Pengadilan Agama Praya telah keliru dalam pertimbangan hukumnya. Menurut Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung masih menjadi pertanyaan apakah obyek sengketa merupakan harta peninggalan Amaq Sediah atau harta benda milik pribadi dari anak dan/atau cucu Amaq Sediah, karena tidak terbukti dalam proses pemeriksaan Amaq Sediah meninggalkan harta warisan yang belum dibagi waris, dan Pengadilan Agama Praya hanya berwenang menetapkan siapa ahli waris dari Amaq Sediah. Oleh karena obyek sengketa dalam perkara ini menyangkut hak, maka menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.27   Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) pada tahun 2007 memeriksa perkara antara Inaq Illah et.al. v. Lemin et.al. Para penggugat dan para tergugat adalah ahli waris dari almarhum Amaq Ruminah yang meninggal dunia tahun 1986. Amaq Ruminah semasa hidupnya telah kawin sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama dengan seorang perempuan Inaq Tilem yang meninggal dunia tahun 1960. Amaq Ruminah kawin lagi dengan seorang perempuan bernama Inaq Saleha. Kemudian ia kawin lagi untuk ketiga kalinya dengan Inaq Illah (penggugat I). Dalam perkawinan dengan Inaq Tilem mereka mempunyai dua orang anak yaitu Ruminah dan Lemin (tergugat).                                                  26 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 18/Pdt.G/2006/PTA.Mtr, tanggal 21 Maret 2006. 27 Putusan Mahkamah Agung, No. 368 K/AG/2006, tertanggal 3 Januari 2007. 15  Perkawinan dengan Inaq Saleha tidak memiliki anak. Perkawinan antara Amaq Ruminah dengan Inaq Illah (penggugat I) melahirkan tiga orang anak yaitu Sahabudin laki-laki (penggugat II), Aminullah laki-laki (penggugat III), dan Haeriah perempuan (penggugat IV). Pada tahun 1982, Ruminah meninggal dunia dan meninggalkan lima orang anak, yaitu Sajidin (laki-laki), Marjuki (laki-laki), Saeniah (perempuan), Asiah (perempuan), dan Sapiah (perempuan). Almarhum Amaq Ruminah meninggalkan harta warisan berupa tanah sawah 3.813 M2 yang dikuasai oleh Lemin. Penggugat meminta harta warisan tersebut di bagi menurut hukum Islam. Tergugat menyatakan dalam jawabannya terhadap gugatan itu bahwa penggugat Inaq Illah telah diceraikan oleh Amaq Ruminah dan kemudian telah kawin lagi dengan Ketut Brata yang beragama Hindu. Karena keluar dari agama Islam maka menurut tergugat Inaq Illah tidak berhak terhadap harta warisan. Pengadilan Agama Mataram dalam putusan tanggal 22 Februari 2006 menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya.28  Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut dan menetapkan ahli waris Amaq Ruminah almarhum yaitu Sahabuddin, Aminullah, Haeriah, Lemin, Sajidin, Marzuki, Saeniah, Asiah, Sapiah.29 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum dan menolak permohonan kasasi dari Inaq Illah dan lain-lainnya.30  Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa sengketa warisan dalam perkara Amaq Munasih et.al. v. Amaq Subur et.al. Bahwa yang menjadi pewaris dalam perkara ini adalah almarhum Papuq Sap yang meninggal dunia tahun 1964 dan isterinya Inaq Herman yang juga telah meninggal dunia tahun 1981. Pewaris meninggalkan lima orang anak yaitu Amaq Inah, Inaq Samiah, Inaq Nang, Amaq Kesim, Amaq Munasih, anak-anak itu semua telah meninggal dunia sehingga sekarang yang menjadi ahli waris adalah cucu-cucunya. Pewaris meninggalkan pula dua bidang tanah sawah yang luasnya 136 Are atau 1.340 ha. Tanah tersebut sekarang dikuasai oleh para tergugat yang juga cucu pewaris almarhum. Penggugat yang juga cucu pewaris meminta pembagain harta warisan tersebut.                                                   28 Putusan Pengadilan Agama Mataram, No. 144/Pdt.G/2005/PA.MTR, tanggal 22 Pebruari 2006. 29 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 38/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 19 Juli 2006. 30 Putusan Mahkamah Agung, No. 15 K/AG/2007, tanggal 30 Mei 2007. 16  Pengadilan Agama Selong menetapkan bagian ahli waris masing-masing yaitu Amaq Inah 2/7, Inaq Samiah 1/7, Inaq Nang 1/7, Amaq Kesim 2/7, Amaq Munasih 2/7. Anak-anak mereka yang perempuan mendapat satu bagian dan anak laki-laki dua bagian.31 Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memperbaiki putusan Pengadilan Agama Selong tersebut.32 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan, bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.33    Pada tahun 2008 Pengadilan Agama Selong telah memeriksa perkara sengketa warisan Rohini et.al v. H. Sajidi, yang melibatkan harta bersama pewaris dan isterinya. Pewaris H. Faturahman telah meninggal dunia pada tahun 1981, dan meninggalkan seorang isteri serta 4 orang anak yaitu Redah, Rohini, Hj. Rehanah, H. Sajidi, dan Hj. Nurhasanah. Pewaris meninggalkan juga tanah sawah dan tanah kebun sebagai harta bersama. Tanah tersebut dikuasai oleh tergugat II. Penggugat telah berusaha untuk menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan, namun selalu ditolak oleh tergugat. Oleh karena itu penggugat meminta kepada Pengadilan Agama agar harta warisan dibagikan menurut Hukum Islam, dimana terlebih dahulu harta dibagi dua antara suami (pewaris) dengan isterinya karena merupakan harta bersama. Pengadilan Agama Selong dalam putusannya menetapkan bahwa setengah dari harta bersama tersebut merupakan hak dari Redah isteri almarhum dan setengah lagi adalah hak almarhum H. Faturahman, yang harus dibagi kepada semua ahli waris. Pengadilan Agama Selong kemudian menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman almarhum yaitu34 :  1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan. 2. Rohini (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan. 3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan. 4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan. 5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan. Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memperbaiki putusan Pengadilan Agama Selong tersebut dan menetapkan masing-masing ahli waris sebagai berikut : 1. Redah (isteri) mendapat 5/40. 2. Rohini (anak perempuan) mendapat 7/40.                                                  31 Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 407/Pdt.G/2006/PA.SEL, tanggal 29 Maret 2007. 32 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 37/Pdt.G/2007/PTA.MTR, tanggal 28 Juni 2007. 33 Putusan Mahkamah Agung, No. 121 K/AG/2008, tanggal 6 Juni 2008. 34 Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 118/Pdt.G/2007/PA.SEL, tanggal 19 Juli 2007 17  3. Hj. Rehanah (anak perempuan) mendapat 7/40. 4. H. Sajidi (anak laki-laki) mendapat 14/40. 5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) mendapat 7/40. Selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama Mataram juga menetapkan perolehan Redah (isteri) adalah ½ harta bersama ditambah 5/40, Hj. Rehanah adalah 7/40 dikurangi Rp. 75.000.000,-, dan H. Sajidi adalah 14/40 ditambah bagian senilai Rp. 75.000.000.-.35    Mahkamah Agung pada tingkat kasasi mendengarkan permohonan pemohon kasasi dahulunya tergugat II dalam memori kasasinya yang pada pokoknya menyatakan antara lain : 1. Judex facti pada pertimbangan hukumnya yang mengambil alih begitu saja pertimbangan hukum Pengadilan Agama Selong, dan tidak mempertimbangkan fakta-fakta nyata yang terjadi antar para pihak dan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Pengadilan Agama Selong tidak mempertimbangkan dengan lengkap akan keseluruhan fakta-fakta hukum tersebut. 2. Permasalahan hukum antara pihak yang berperkara haruslah dipertimbangkan sesuai dengan rasa keadilan dan fakta akan kebenaran dari apa yang telah terjadi baik secara formil ataupun meteril di antara kedua belah pihak. Kenyataanya pihak termohon kasasi/penggugat/terbanding sebelumnya sudah setuju dan menerima pemberian dari pemohon kasasi/tergugat/pembanding berupa hasil-hasil dari objek sengketa dengan kata lain bersedia diberikan sebagian dari hasil objek sengketa saja, bukan mendapatkan tanahnya tetapi cukup hasilnya saja, sebagaimana kebiasaan atau adat di Dusun Pringgajurang sendiri, bahwa keturunan atau laki-laki saja yang berhak atas “tanah” sedangkan yang anak perempuan cukup “hasilnya” dari tanah warisan orang tuanya. 3. Dalam perkara ini baik Majelis Hakim Pengadilan Agama Selong maupun Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah tidak mempertimbangkan bahwa kelebihan dari bagian yang telah dijual oleh salah satu pihak berperkara harus pula ditanggung olehnya.    Mahkamah Agung berpendapat terlepas dari alasan kasasi tersebut di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi, menurut pendapat Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :                                                  35 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 64/Pdt.G/2007/PTA.MTR, tanggal 15 Nopember 2007. 18  1. Objek sengketa dalam surat gugatan berupa tanah sawah seluas 33 are yang telah diperjual belikan oleh tergugat I kepada tergugat II harus diperhitungkan sebagai harta bersama antara pewaris (H. Faturahman) dengan Raedah. 2. Objek sengketa tersebut juga harus dibagi dua antara pewaris (H. Faturahman) dengan Raedah. 3. ½ (seperdua) bagian pewaris (H. Faturahman) dari objek sengketa tersebut merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada para ahli warisnya. 4. Penyelesaian jual beli terhadap objek sengketa tersebut merupakan urusan antara tergugat I dengan tergugat II. 5. Oleh karena objek sengketa merupakan harta bawaan harus ditetapkan sebagai harta bawaan pewaris (almarhum H. Faturahman) yang harus dibagi waris dengan ahli warisnya.   Mahkamah Agung akhirnya memutuskan, antara lain36 :  a. Menetapkan ½ (seperdua) dari harta warisan merupakan hak Redah dan ½ (seperdua) lainnya menjadi hak almarhum H. Faturahman yang harus dibagi waris kepada ahli warisnya. b. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman adalah sebagai berikut: 1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan. 2. Rohin (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan. 3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan. 4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan. 5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.    4. Penyelesaian Sengketa Warisan di Pengadilan Negeri Walaupun masyarakat Sasak beragama Islam, mereka yang bersengketa soal warisan tidak selalu pergi ke Pengadilan Agama, melainkan mencari keadilan ke Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung Indonesia telah melakukan perubahan terhadap hak wanita Sasak untuk mewaris dengan putusannya dalam Inaq Rasini v. Amaq Atimah et.al, (1978)37. Mahkamah Agung memutuskan bahwa sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli (Sumatera Utara), juga di Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini                                                  36 Putusan Mahkamah Agung, No. 515 K/AG/2008, tanggal 6 Maret 2009. 37 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 1589 K/Sip/1974, tanggal 9-2-1978.  19  penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak perempuan, mewarisi seluruh harta peninggalan dari bapaknya.  Mahkamah Agung Indonesia sebelumnya telah melakukan perubahan terhadap Hukum Adat Batak Karo di Sumatera Utara yang menganut garis keturunan patrilineal, dalam perkara Sitepu v. Ginting (1961)38. Menurut Hukum Adat Batak Karo di Sumatera Utara pada waktu itu, harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki sesuai dengan masyarakat patrilineal. Namun Mahkamah Agung Indonesia dalam tingkat kasasi telah memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe dan Pengadilan Tinggi Medan, dan menetapkan anak perempuan mendapat warisan dalam perkara itu. Menurut Mahkamah Agung Indonesia, berdasarkan rasa perikemanusian dan keadilan umum atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria sebagai hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti, bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, maka juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya. Putusan Mahkamah Agung ini semula mengguncangkan masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, namun mendapat sambutan hangat dari kaum wanita masyarakat tersebut. Putusan ini dianggap sebagai tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membuat yurisprudensi baru dalam soal warisan di Tapanuli (Sumatera Utara).  Kembali kepada Putusan Mahkamah Agung di Lombok dalam Inaq Rasini v. Amaq Atimah et.al (1974), Mahkamah Agung mengutip putusannya dalam Ginting v, Sitepu di tanah Karo, dengan mengatakan sebagaimana putusan Mahkamah Agung di Batak Karo, maka wanita Sasak di Lombok juga adalah sebagai ahli waris dari orang tuanya almarhum.  Kaum laki-laki suku Sasak yang saya tanya tentang putusan Mahkamah Agung tersebut berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut sudah adil dan tepat. Pada zaman sekarang ini kaum wanita Sasak sudah ikut bekerja seperti kaum laki-laki untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, maka sudah tepatlah bila wanita Sasak juga menjadi ahli waris dari orang tuanya.39                                                   38 Putusan Mahkamah Agung Indonesia,  No. 179/Sip/1961, tanggal 1-11-1961 39 Interview 4 Oktober 2007 20  Dalam kasus Inaq Supar et.al. v. Amaq Mali et.al. (1976)40, Makamah Agung Indonesia kembali menyatakan bahwa perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya almarhum. Dalam perkara ini Inaq Supar (wanita) dan Inaq Kamar (wanita) tinggal di Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat telah mengajukan gugatan kepada Amaq Mali (laki-laki), Amaq Sani (laki-laki), Amaq Su (laki-laki), dan Amaq Mulinah (laki-laki). Duduk perkaranya adalah Amaq Siti (laki-laki) telah meninggal dunia dan bersaudara kandung dengan Amaq Ipah (laki-laki) dan bersaudara sepupu dengan Amaq Radiah. Kakek penggugat telah meninggalkan harta warisan berupa tanah sawah sejumlah 1,060 ha yang dikuasai oleh tergugat I dan tanah kebun jumlahnya 1,225 ha yang dikuasai oleh tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV. Penggugat telah meminta bagian dari tanah-tanah itu dengan baik-baik tetapi tidak dikabulkan. Pengadilan Negeri Mataram dalam pertimbangan hukumnya, antara lain menyatakan, bahwa terhadap suku Sasak di Lombok Barat berdasarkan yurisprudensi maupun kenyataan hukum adat yang masih hidup menjadi dasar penyelesaian sengketa waris-mewaris. Bahwa menurut Hukum Adat sekarang ini, diakui bahwa anak perempuan adalah ahli waris. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat tentang Hukum Adat Waris di Lombok Barat bulan Pebruari 1974.  Terbukti bahwa Amaq Siti yang meninggal tahun 1956 tidak mempunyai keturunan yang lain selain Le Siti yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Le Siti sebelum meninggal telah kawin dan mempunyai dua anak perempuan bernama Inaq Supar dan Inaq Kamar, para penggugat. Dengan demikian para penggugat adalah cucu dari almarhum Amaq Siti. Bahwa sekiranya Le Siti masih hidup dan Amaq Siti meninggal lebih dahulu, maka menurut Hukum Adat Sasak, Le Siti adalah satu-satunya ahli waris dari almarhum Amaq Siti. Oleh karena para penggugat adalah cucu almarhum Amaq Siti maka para penggugat adalah ahli waris yang sah dari Amaq Siti. Para penggugat baik sejak hidupnya Amaq Siti dan setelah meninggalnya Ibu penggugat (Le Siti), penggugat tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta-harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, sehingga penggugat ahli waris yang berhak atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, keadaanya sangat menyedihkan. Oleh karena itu dipandang sangat tidak adil, apabila penggugat yang semestinya berhak atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut keadaanya menjadi terlantar, karena sama sekali tidak menikmati harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut.                                                  40 Putusan Pengadilan Negeri Mataram, No. 049/PN.Mtr/Pdt/1970, tanggal 27 Desember 1976. 21  Oleh karena tergugat telah cukup menikmati dan memanfaatkan harta peninggalan almarhum Amaq Siti, yang bahkan dari harta-harta itu mereka dapat membeli tanah- tanah sawah baru, maka pengadilan berpendapat bahwa sangat adil kalau masa menikmati atau memanfaatkan harta peninggalan almarhum Amaq Siti sehingga dapat membeli tanah sawah sendiri dari hasil harta-harta peninggalan almarhum tersebut sebagai bagian dari tergugat, sehingga terhadap seluruh harta peninggalan almarhum Amaq Siti, para tergugat tidak berhak lagi dan harus menyerahkan kembali tanah-tanah sengketa dalam perkara ini kepada para penggugat sebagai ahli waris sah dari almarhum Amaq Siti yang berhak memiliki tanah-tanah sengketa tersebut.  Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan penggugat harus dikabulkan. Akhirnya Pengadilan Negeri Mataram menyatakan, oleh karena sengketa ini adalah masalah hak, yakni berdasarkan pertimbangan tersebut di atas bahwa penggugat adalah yang berhak dan pemilik atas tanah sengketa ini.   Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding dalam putusannya tanggal 27 Juni 1977 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, dan menyatakan bahwa para penggugat adalah ahli waris dari Amaq  Siti.41  Mahkamah Agung Indonesia pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Denpasar tidak salah menerapkan hukum dan memperkuat putusan tersebut, artinya para penggugat yakni Inaq Supar dan Inaq Kamar berhak atas tanah warisan itu.42   Pengadilan Negeri Selong pada tahun 1977 dalam perkara Baiq Fadlah et.al., v. Baiq Saeah menyatakan bahwa penggugat dan tergugat sebagai anak perempuan berhak mewaris dengan mendapat setengah bagian yang menurut Hukum Adat Sasak  disebut “sepersonan”. Duduk perkaranya adalah Baiq Fadlah dan Lalu Ahmad yang tinggal di Desa Labuhan Lombok Timur menggugat saudaranya Baiq Saeah yang tinggal di daerah yang sama. Sengketa ini bermula dari meninggalnya Ibu para penggugat dan tergugat dengan meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah kebun. Setelah 40 hari upacara kematian Ibu mereka pada tahun 1977, ternyata baru diketahui tanah sawah yang jumlahnya 5,670 ha dan tanah kebun seluas 2,200 ha telah dihibahkan oleh Ibu mereka sebelum meninggal dunia atas bujuk rayuan tergugat, Baiq Saeah tanpa pengetahuan para penggugat. Para penggugat dengan demikian tidak mendapat harta warisan. Para penggugat minta kepada Pengadilan Negeri agar memberikan putusan                                                  41 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 102 /PTD/1977/Pdt., tanggal 27 Juni 1977. 42 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 853 K/Sip/1978, tanggal 29 April 1981.  22  yang adil. Menurut para penggugat berdasarkan Hukum Adat Sasak pihak laki-laki mendapat sepelembah atau 2 bagian dan pihak perempuan mendapat sepersonan atau satu bagian. Tergugat menjawab bahwa menurut Hukum Adat Sasak perempuan tidak mendapat warisan dan hibah itu diberi dengan keikhlasan Ibunya sendiri yang dirawatnya selama sakit. Pengadilan Negeri Selong dalam putusannya menyatakan bahwa menurut azas hukum yang umum, suatu hibah tidak boleh merugikan ahli waris yang berhak. Sehingga dengan demikian surat hibah itu dibatalkan oleh pengadilan dan para penggugat dinyatakan sebagai ahli waris juga. Pengadilan Negeri Selong membagi harta warisan tersebut “sepelembah sepersonan” atau dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan.  Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut.43 Mahkamah Agung Indonesia memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Denpasar karena sudah sesuai dengan Hukum Adat setempat.44       Pada tahun 1982, Putusan Pengadilan Negeri Selong menyatakan bahwa wanita Sasak tidak saja sebagai ahli waris, tetapi juga mendapat bagian yang sama dengan kaum laki-laki sepertinya mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Sasak di Lombok. Dalam perkara Inaq Sanah et.al v. Kadirun et.al (1982)45, Pengadilan Negeri Selong di Lombok Timur menyatakan perlu dikaji latar belakang sosiologis keadaan Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, khususnya mengenai Hukum Waris Adat di daerah Lombok Timur. Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga di daerah ini, khususnya warga masyarakat persekutuan adat suku Sasak di Pulau Lombok, bahwa didalam tiga dasawarsa terakhir ini telah terjadi banyak kemajuan yang telah dicapai didalam hidup dan kehidupan mereka baik di bidang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Menurut Pengadilan Negeri Selong lagi, kemajuan- kemajuan di atas ternyata telah banyak berpengaruh terhadap pola dan cara berpikir anggota masyarakat adat suku Sasak. Pengadilan Negeri Selong berpendapat, kita dapat melihat status dan derajat wanita telah mengalami perubahan-perubahan, yaitu menjadi setarap dan sejajar dengan kaum lelaki. Kesempatan yang sama diberikan untuk memperoleh pendidikan antara anak laki-laki dan anak wanita, kemudian diikuti pula dengan kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh lapangan pekerjaan dan sebagainya. Maka bukan hal yang aneh lagi berbagai jabatan dan profesi juga terisi oleh                                                  43 Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 187/PTD/1977/Pdt., tanggal 11 April 1979. 44 Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 2014 K/Sip/1979, tanggal 19 Mei 1981. 45 Putusan Pengadilan Negeri Selong tanggal 27 Desember 1982 No. 164/P.N.Sel/1982/Pdt. 23  wanita-wanita suku ini. Logis dan sudah sewajarnyalah diikuti pula dengan hak dan kedudukan yang sama dalam hukum, khususnya dalam Hukum Waris.  Menurut Pengadilan Negeri Selong, merupakan suatu ilusi yang kosong jika ada sementara anggapan yang mau dan akan tetap mempertahankan pola dan nilai-nilai hidup sebagaimana tercermin didalam ketentuan Hukum Adat lama yang telah usang, ketinggalan zaman, yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masa sekarang dan tidak pula sesuai dengan rasa keadilan hukum dari masyarakat Sasak sendiri di zaman sekarang. Kalaupun ada yang beranggapan nilai-nilai hukum Waris lama itu masih tetap hidup dan tetap terpelihara, itu hanya hidup dalam pola berpikir sementara orang-orang yang mempunyai pamrih material semata-mata yang ingin mendominier harta warisan untuk diri sendiri tanpa memberikan hak waris kepada anak wanita atau saudara-saudara wanitanya.  Pengadilan Negeri Selong mengutip pula penelitian “Perkembangan Hukum Adat Suku Sasak” yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram pada tahun 1979. Sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok, khususnya di daerah Kecamatan Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Waris Adat khususnya tentang kedudukan anak wanita. Jika menurut Hukum Adat yang lama anak wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewaris barang-barang tidak bergerak seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya sudah diakui dimana kedudukan wanita sebagai ahli waris dan berhak pula memperoleh harta warisan peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.    Keadaan-keadaan di atas mau tidak mau haruslah ditafsir sebagai telah terjadi pergeseran pola berpikir di kalangan warga suku ini kearah kemajuan (modernisasi). Dari realita-realita yang terjadi di dalam masyarakat adat tersebut di atas, maka secara filosifis dapat dibaca bahwa persamaan status hak dan kedudukan antara anak laki-laki dengan anak wanita selama ini telah berjalan. Anak wanita tidak lagi sebagai selalu berada di belakang keutamaan anak laki-laki. Tetapi keduanya mempunyai harkat dan martabat yang sama.  Dari segi yuridis dapat dipertimbangkan antara lain, masyarakat adat suku Sasak telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat tersebut ternyata diikuti pula dengan perkembangan akan kebutuhan hukum. Di dalam masyarakat adat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai- nilai hukumnya.  24  Situasi dan kondisinya sekarang telah berubah. Dalam realita di tengah-tengah masyarakat adat suku ini telah timbul nilai-nilai hukum baru yang selaras dan sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Dirasakan tidak adil lagi anak wanita dianggap sebagai bukan ahli waris. Anak wanita sekarang sudah diakui sebagai ahli waris. Sebagai konsekuensi logis maka kepadanya haruslah pula diberikan hak untuk mendapatkan warisan atas peninggalan orang tuanya.  Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai falsafah negara kita Pancasila serta penjabarannya di dalam pasal-pasal UUD 1945 dan mengingat pula akan rasa keadilan umum, serta nilai-nilai hukum yang hidup serta diindahkan berlakunya di dalam masyarakat yang bersangkutan (living law), maka didalam kasus ini Pengadilan sependapat dan layak untuk berpedoman kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia tertanggal 11 Nopember 1961, No. 179 K/Sip/1961. Intinya sebagai berikut : “Anak perempuan dan anak laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki sama dengan anak perempuan”. Lebih realistis lagi sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus ini melihat yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia yang diterapkan di daerah Pulau Lombok ini, tertanggal 9 Februari 1978 No. 1589 K/Sip/1974 dalam perkara antara Inaq Rasini v. Amaq Atimah et.al., yang isinya adalah sebagai berikut : “Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia terhadap anak perempuan di Tapanuli juga di Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam hal ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak mewaris seluruh harta peninggalan dari bapaknya”.   Pengadilan dalam kasus ini melalui putusannya berusaha mendekati serta memenuhi kebutuhan hukum masyarakat adat yang bersangkutan, serta dapat pula memenuhi rasa keadilan masyarakat adat yang bersangkutan. Melalui suatu putusan hakim yang adalah juga merupakan sumber hukum, berusaha menempatkan hukum sebagai sarana pembangunan, law is a tool of social engineering.  Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, khususnya kedua buah yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia di atas, maka Pengadilan Selong didalam kasus ini berpendapat bahwa sudah sepantasnya, serta adil diberikan hak yang sama kepada semua anak-anak kandung/anak turunan almarhum Amaq Seniah untuk 25  mewarisi tanah sawah dan kebon sengketa peninggalannya, dalam hal ini kepada penggugat dan tergugat, bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak wanita. Cara yang tepat untuk melakukan pembagian warisan atas tanah sengketa adalah dengan terlebih dahulu mengangkat kembali ke posisi semula dari si peninggal warisan (almarhum Amaq Seniah). Setelah itu baru dibagi sama terhadap semua anak-anak kandungnya, dan selanjutnya masing-masing bagiannya diteruskan kepada turunan berikutnya menurut garis ke bawah.  Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan pada akhirnya memperoleh kesimpulan, bahwa pihak penggugat telah dapat membuktikan dalil gugatannya. Oleh karena itu gugatan penggugat sudah selayaknya dikabulkan.  Pengadilan Negeri Selong akhirnya menetapkan dan mensahkan para penggugat dan para tergugat, kedua pihak adalah ahli waris dari almarhum Amaq Seniah dan berhak mewaris tanah sawah dan kebun sengketa tersebut dengan pembagian yang sama.   Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengambil alih pertimbangan dan kesimpulan hakim Pengadilan Negeri Selong, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Selong tersebut.46 Pada tingkat kasasi pemohon-pemohon kasasi dahulu para tergugat menyatakan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri Selong dan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan alasan :  1. Di Pulau Lombok, di Lombok Timur khususnya di Kecamatan Sukamulia, di desa Padamara seorang wanita bukanlah sebagai ahli waris, karena menganut sistem perkawinan yang ditarik dari garis keturunan laki-laki sebab menganut sistem Patrilineal. Wanita tidak bisa mewarisi harta pusaka yang berasal dari orang tua baik berupa tanah sawah maupun tanah kebun. Wanita hanya bisa mewarisi terbatas pada harta benda yang bergerak, misalnya, perhiasan-perhiasan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. 2. Dasar putusan hakim yang menyamakan kedudukan seorang wanita dan laki-laki ini hanya berpatokan kepada kemajuan zaman saja. Menurut pemohon-pemohon kasasi dahulu para tergugat, bagaimanapun kemajuan zaman, kaum wanita tidak bisa menjadi Kepala Keluarga dan untuk ini selalu dipegang oleh kaum pria. Atas dasar ini pula maka timbullah suatu perbedaan hak mewaris yang berhubungan dengan harta pusaka.                                                  46 Putusan Pengadilan Tinggi Mataram, No. 17Pdt/1984/PT.NTB, tanggal 26 Maret 1984. 26  3. Bila ditinjau lebih jauh, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah bertentangan dengan hukum waris yang diatur dalam Kitab Al quran surat An Nissa’ ayat 11, dan bertitik tolak dari kedua sumber hukum tadi yaitu baik ditinjau dari Hukum Adat maupun Hukum Islam, maka Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum materialnya, apalagi di Lombok Timur. Khususnya di desa Padamara masih kuat berlaku Hukum Adat maupun Hukum Islam sampai sekarang dan perlu pemohon-pemohon kasasi dahulu para tergugat menjelaskan bahwa Hukum Waris yang dipergunakan untuk membagi harta warisan yang dipakai adalah Hukum Adat.      Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan keberatan-keberatan tersebut. Berdasarkan apa yang dipertimbangkan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum.47  Setelah putusan Mahkamah Agung itu keluar, gugatan-gugatan perkara waris lainnya yang dibawa kaum wanita bertambah ke Pengadilan Negeri di Lombok.48     5. Kesimpulan  Masyarakat Sasak dalam hal mewaris terbagi atas tiga macam yaitu pertama, mereka yang tetap patuh kepada Hukum Adat Tradisional yang bercirikan sistem patrilineal murni. Pada masyarakat ini, kaum wanita tidak mendapat warisan. Walaupun golongan ini sudah dalam jumlah yang kecil, misalnya, seperti penduduk desa Sade (Lombok Tengah), tetapi sistem ini masih tetap berlaku di desa tersebut. Kedua, golongan masyarakat yang tetap patuh kepada Hukum Islam, dimana wanita mendapat satu bagian berbanding dua bagian untuk pria. Pengadilan Agama di Lombok selalu memegang teguh pembagian warisan menurut Hukum Islam ini. Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya belum ada yang mengubah pembagian warisan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama ini pada tingkat kasasi. Mahkamah Agung kelihatannya berhati-hati benar bila berhadapan dengan Hukum Islam yang bersumber kepada Quran dan Hadist. Ketiga, golongan masyarakat Sasak yang beragama Islam tetapi membawa sengketa warisannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam suatu putusannya berpendirian bahwa telah terjadi perubahan sosial di Lombok terhadap kaum wanita. Sekarang ini menurut Pengadilan Negeri dalam putusan tersebut, hak wanita dan pria adalah sama. Pernah Pengadilan Negeri di Selong memutuskan hak                                                  47 Putusan Mahkamah Agung, No. 2662 K/Pdt/1984, tanggal 26 Nopember 1985. 48 Interview 17 Juli 2009 27  wanita dan pria itu dalam mewaris adalah sama, satu berbanding satu. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Dengan demikian pemeriksaan tingkat kasasi dari putusan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama tingkat pertama, Mahkamah Agung tetap mengikuti Hukum Islam. Akan tetapi pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap perkara waris yang datang dari Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri sudah menerapkan putusan bahwa wanita dan laki-laki mempunyai hak yang sama, satu berbanding satu. Dalam masyarakat Sasak sendiri sudah terjadi laki-laki yang kasihan kepada adik perempuannya yang miskin, sehingga adiknya itu mendapat harta warisan lebih besar. Ada juga bapak yang lebih sayang kepada anak perempuannya sehingga sewaktu ia hidup telah memberikan hartanya (hibah) kepada anak perempuannya tersebut.   Perubahan hukum berlangsung secara kualitatif dan bukan kuantitaitf. Artinya satu putusan Mahkamah Agung saja pada permulaan, berarti telah terjadi perubahan hukum, seperti putusan Mahkamah Agung pada masyarakat Batak Karo di Kabanjahe. Dapat dikatakan, pluralisme hukum dalam mewaris bagi wanita Sasak Lombok telah terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini.      ________

PERKEMBANGAN ADAT SASAK DI DESA SIWI

Mengutip pendapat dari H. Lalu Lukman di dalam bukunya Tata Budaya Adat Sasak di Lombok mengenai adat istiadat, beliau mengatakan “Timbulnya adat dalam kebudayaan adalah dari kebiasaan sehari-hari. Menjadi tradisi atau teradat serta didukung oleh falsafah yang sangat menguntungkan bagi para penganutnya dalam perkembangannya. Ia mengalami sentuhan dari lingkungan sekitarnya, ditambah lagi masuknya aliran keyakinan, yaitu agama yang mula-mula hanya merupakan pengaruh, tapi kemudian akan menjadi penunjang yang kuat dan akan menjadi sendi adat, yang tidak dapat dipisahkan. Proses yang demikian inilah yang dialami oleh masyarakat sasak didalam perkembangannya.”
Berpijak dari pendapat beliau ini, mengidentifikasi bahwa adat dalam kebudayaan sasak tidak terlepas dari pengaruh agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh mayoritas suku sasak. Nilai ajaran Islam dari sejak dulu telah dijadikan pijakan oleh masyarakat suku sasak didalam menjalankan tradisi budaya mereka. Pelaksanaan adat dalam tradisi budaya sasaktidakboleh dipisahkan dari pengaruh agama, atau dengan kata lain adat harus bersendikan agama, adat harus tunjang menunjang dengan agamayang memunculkan falsafah yang sangat dalam yakni, “adat gama” dan “adat krama”. Antara adat gama dan adat krama tidak boleh saling bertolak belakang, harus seiring sejalan, selangkah seayun seiya sekata agar terwujud budaya sasak yang harmonis dan seimbang menuju masyarakat sasak yang religious, maju, dan berbudaya.
Demikian halnya dengan tradisi nyongkolan, pada hakikatnya tradisi nyongkolan dihajatkan untuk menjalankan ruh agama itu sendiri karena dalam kegiatan nyongkolan ada unsur syiar untuk memperkenalkan kedua mempelai kepada kaum kerabat dan para tamu yang hadir, dan dalam kesempatan ini juga kedua mempelai dibawa menemui kedua orang tuanya, sebagai simbul untuk memohon maaf atas perbuatannya yang telahmeninggalkan rumahnya untuk kawin. Tetapi perlu diingat dalam pelaksanaan nyongkolan tersebut dilakukan dengan tertib dan teratur dengan tidak melanggar norma adat dan agama. Inilah hakikat nyongkolan yang dihajatkan oleh tokoh adat, tokoh agama, pemerintah dan masyarakat sasak yang cinta akan budayanya.
Tradisi nyongkolan jika dikaitkan dengan pendidikan karakter maka akan menumbuhkan karakter positif antara lain:
1.  Munculnya karakter untuk ikhlas meminta maaf dan memaafkan. Kita tahu sebelum terjadi pernikahan kedua mempelai pergi diam-diam dari rumah orang tuanya yang terkadang membuat kedua orang tuanya kalang kabut dan kebingungan mencari kemana anak kesayangannya. Tetapi hal tersebut bias terobati dengan tradisi nyongkolan dimana sang anak meminta maaf dan bersimpuh secara langsung kepada kedua orang tuanya, untuk menunjukkan bakti dan rasa hormat kepada kedua orang tuanya.
2. Mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi. Dimana antara keluarga kedua mempelai bias saling kenal satu dengan yang lain sehingga dapat memupuk tali kekeluargaan yang semakin erat antara satu dengan yang lain. Asalnya dari tidak kenal menjadi kenal, jika telah salin kenal maka akan tumbuh rasa saling saying dan rasa saling peduli antara satu dengan yang lain karena telah merasa terikat menjadi satu keluarga besar.
3.   Kebersamaan, dengan adanya tradisi nyongkolan tersebut akan menumbuhkan perasaan saling membantu untuk menyelesaikan prosesi adat nyongkolan yang punya gawe (mempelai laki-laki dan perempuan) dengan ikut mengiring kedua mempelai kerumah mempelai perempuan. Bagi yang lebih mampu juga membawa bermacam-macam usungan yang akan diserahkan kepada pihak keluarga perempuan dan akan dibagi-bagikan kepada sekalian sanak keluarga dan tamu yang hadir.
4.   Kepedulian kepada orang lain, dalam hal nyongkolan dilaksanakan dengan cara tertib, teratur, dan rapi agar tidak mengganggu orang lain. Lebih-lebih jika nyongkolan dilaksanakan dengan jalan kaki secara beriringan. Dengan menerapkan karakter peduli pada orang lain pada saat prosesi nyongkolan maka tidak akan terjadi polemik atau pertikaian. Pendidikan karakter kepedulian kepada orang lain tumbuh dengan adanya kesadaran dari masyarakat pada saat proses nyongkolan diadakan.
Pendidikan karakter bisa ditemukan dalam proses nyongkolan dan dijadikan falsafah budaya sasak jika ajaran positif yang tersirat dari kultur nyongkolan tersebut diresapi, dehayati dan direalisasikan oleh masyarakat sasak. Bukan sekedar dijadikan ritual seremonial dan penyelesaian adat semata. Jika prosesi nyongkolan hanya dijadikan sebagai ritual penyelesaian adat semata, maka ruh pendidikan karakter yang dihajatkan oleh prosesi nyongkolan tersebut hanya akan menyisakan tabi’at yang negative, seperti hura-hura, mabuk-mabukkan, mengganggu ketertiban umum, dan tidak peduli terhadap kepentingan pengguna jalan lain.
Ini sekilas tentang coretan “Tradisi Nyongkolan dan Pendidikan Karakter” yang saya kutip dari berbagai sumber.
Semoga bermanfaat.